Klakson tak penting dan Etika

klakson
klakson

Saya paling sering jengkel jika sedang mengendarai motor (yang menurut saya baik dan benar) namun tiba-tiba di klakson dari belakang, entah karena si pengklakson terburu-buru atau sekedar iseng. Hal ini jamak di Makassar terutama di traffic light.

Pun jika yang mengklakson sedang buru-buru (entah ada yang sakit, atau mau melahirkan, atau apalah), tak perlulah mengeluarkan polusi suara dengan mengklakson. Toh semua orang ingin cepat sampai tujuan.

Saya jadi teringat waktu di Jepang tahun lalu, ada yang beda dengan di Tanah air. Di Jepang (Kota Tokyo), saya sangat jarang mendengar bunyi klakson. Di jalan raya hanya suara kendaraan yang terdengar. Mau macet atau lampu hijau pun, tak ada yang membunyikan klakson. Seingat saya, saya hanya mendengar 1 klakson selama 2 minggu disana, itupun klakson memperingati kendaraan di samping kalau mobil bus yang kami tumpangi akan berbelok.

Di Jepang, tak ada sejarahnya orang mengklakson hanya karena ego pribadinya ingin buru-buru sampai ke tempat tujuan. Bahkan konon, saat terjadi bencana tsunami pun orang-orang antri dengan tertib di jalan tanpa membunyikan klakson. Mungkin pikir mereka, untuk apa memencet klakson, toh memang macet, pencet 1000 kalipun tak akan ada gunanya, toh semua orang mau cepat-cepat ke tujuan. Namun entahlah, saya kan di Jepang jarang ke jalan raya, aktivitas transportasi lebih banyak di kereta bawah tanah yang tak mungkin mendengar klakson.

Kembali ke Indonesia, lihat saja di lampu merah, saat lampu hijau menyala otomatis banyak yang membunyikan klakson, pertanda kendaraan yang di depan agar segera melaju. Saya sebut disini, yang mengklakson gaya ini tak punya etika sopan-santun, sungguh egois. Saya sering dongkol karenanya, apalagi jika tak ada angin atau hujan namun tiba-tiba mengklakson.

Yang lebih parah lagi adalah pengendara yang meletakkan terus tangannya di tombol klakson. Saya sering memperhatikan pengendara motor yang meletakkan jempol kirinya di tuts klakson selama membawa motor. Sedikit-sedikit klakson, sedikit-sedikit klakson. Membuat polusi suara saja.

Ada kisah khusus tentang klakson ini. Saat itu saya dan calon istri (sekarang sudah jadi istri) naik motor. Tepat di traffic light, saya menghentikan motor karena sudah lampu merah. Namun tiba-tiba ada mobil yang mengklakson dari belakang. Awalnya saya tenang saja dan memperhatikan sekeliling saya jangan sampai ada yang salah dengan saya, jangan sampai lampu sebenarnya hijau namun saya berhenti. Saya perhatikan, tidak ada yang salah dengan saya. Namun mobil kembali mengklakson, saya pun berbalik ke arah mobil jangan sampai teman saya mengklakson. Tidak ada kejadian, tak ada yang janggal pun disekeliling mobil, jadi saya pikir si empunya mobil mau menerobos lampu merah. Karena mengklakson terus, saya pun melihat terus si empunya mobil dengan harapan dia menghentikan aksinya.

Namun saat lampu hijau, motor saya diserempet oleh mobil tersebut. Saya hampir saja terjatuh bersama istri seandainya saja saya tidak mengerem mendadak. Dengan marah saya membentak si pemilik mobil. Si pemilik mobil pun marah balik, ”apa liat-liat”, katanya. Dan adu mulut pun terjadi. Hampir terjadi adu jotos seandainya tidak dilerai tukang bentor. Dia pun mengancam ”awasko nah!!! Kutunggu di Aspol!!”. Ckckckck… Gara-gara klakson hampir berkelahi.

Sampai sekarangpun saya masih sering jengkel mendengar bunyi klakson yang tidak penting. Jadi, klakson tak penting berkaitan erat dengan etika, menurut saya. Bagaimana menurut anda?

Sumber Gambar : kiwibiru

5 thoughts on “Klakson tak penting dan Etika

  1. I heard a couple of guys talking about this in the New York subway so I looked it up online and found your page. Thanks. I thought I was right and you confirmed my thoughts. Thanks for the work you’ve put into this. I’d love to save this and share with my friends.

Leave a reply to Vivian Cancel reply